
Paperkaltim.id, Jakarta â Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang menuai kontroversi dan kekhawatiran publik. Salah satu poin utama yang diperdebatkan adalah perluasan peran prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil, yang dianggap berpotensi mengembalikan dwifungsi militer seperti pada era Orde Baru.â
Dalam draf revisi UU TNI, terdapat usulan untuk menambah jumlah kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya hanya 10 lembaga yang diperbolehkan, revisi ini mengusulkan penambahan lima lembaga lagi, sehingga total menjadi 15.
Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, menyatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan organisasi pemerintahan. "Penambahan ini dimaksudkan agar prajurit TNI yang memiliki kompetensi tertentu dapat berkontribusi di lembaga-lembaga yang membutuhkan," ujarnya. â
Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai perluasan ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI yang pernah ada pada masa Orde Baru.
"Kami khawatir revisi ini akan membuka jalan bagi militer untuk kembali terlibat dalam urusan sipil, yang seharusnya dihindari dalam negara demokratis," tegasnya. â
Penolakan terhadap revisi UU TNI juga disuarakan melalui aksi damai oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Namun, seusai demonstrasi tersebut, kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) didatangi oleh orang tak dikenal.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai aksi damai tersebut hanya mengkritik substansi revisi UU TNI terkait perluasan jabatan sipil bagi militer aktif dan kabar penghapusan larangan berbisnis serta berpolitik praktis bagi TNI. â
Pengamat kebijakan publik, Gigin Praginanto, memberikan komentar terkait penolakan RUU TNI. Ia menilai bahwa revisi ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. â
sulselsatu.com
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menekankan bahwa penempatan prajurit TNI di lembaga-lembaga sipil harus dilakukan secara selektif dan sesuai permintaan dari kementerian terkait. "Penunjukan prajurit TNI di lembaga-lembaga tersebut harus dilakukan secara selektif dan sesuai permintaan dari kementerian terkait," ujarnya. â
Kontroversi terkait revisi UU TNI menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat sipil. Penting bagi semua pihak untuk duduk bersama dan membahas revisi ini secara transparan, guna memastikan bahwa perubahan yang dilakukan tidak mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil.