
Paperkaltim.id, Bandung â Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan publik usai meluncurkan program pendidikan karakter berbasis barak militer bagi siswa yang dinilai berperilaku menyimpang. Program ini diperkenalkan lewat Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/Kesra dan telah dijalankan sejak 1 Mei 2025 bekerja sama dengan TNI AD.
Melalui program yang diberi nama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan, para siswa yang terlibat dalam aksi tawuran, merokok, mabuk, atau menggunakan knalpot brong dikirim ke dua lokasi pelatihan militer, yakni Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi di Bandung dan Markas Resimen Armed 1/Sthira Yudha/1 Kostrad di Purwakarta.
Menurut Dedi, pendekatan ini dilakukan untuk membangun kedisiplinan dan memperkuat karakter para pelajar yang sulit dikendalikan di sekolah umum. âProgram ini punya dampak positif dalam mengubah perilaku siswa,â ujar Dedi saat meninjau kegiatan di Purwakarta, Sabtu, 3 Mei 2025.
Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai bahwa program ini tidak didasarkan pada prinsip pendidikan dan perlindungan anak. Sekretaris Jenderal FSGI, Fahriza Marta Tanjung, menyebut tidak adanya kurikulum, modul, atau pedoman ajar sebagai bukti lemahnya perencanaan.
FSGI juga mengungkapkan sejumlah temuan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), seperti ketidakteraturan sistem rekrutmen peserta, metode pelatihan yang tidak seragam, serta kelelahan fisik siswa akibat aktivitas berat. Mereka khawatir jika anak-anak hanya dijadikan eksperimen dalam program yang belum matang secara konsep maupun pelaksanaannya.
Ketua FSGI Fahmi Hatib menilai pendekatan militer bukan satu-satunya jalan untuk membina siswa. Menurutnya, program ekstrakurikuler yang sudah ada seperti Pramuka, PMR, dan UKS bisa diperkuat. âKalau dianggap belum berhasil, evaluasi dulu isinya. Jangan buru-buru bawa anak ke barak,â ujarnya.
Sementara Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mengingatkan bahwa pendekatan kekerasan bertentangan dengan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang penanganan kekerasan di sekolah. Ia menyarankan pemda untuk membangun ketahanan keluarga dan menyediakan layanan psikologis yang lebih masif.
Di sisi lain, Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) juga angkat suara, bahkan meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan kebijakan ini. Menurut mereka, langkah Dedi tidak hanya berpotensi melanggar hak anak, tetapi juga bisa memperparah stigma sosial terhadap mereka.
Aliansi juga mengingatkan bahwa selama setahun terakhir, terdapat puluhan kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI, termasuk pada anak-anak. Mereka khawatir pendekatan militer malah mengakibatkan trauma dan tidak menjawab akar permasalahan yang menyebabkan kenakalan remaja.
Bagi mereka, solusi terbaik bukanlah di barak militer, melainkan penguatan peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar sebagai ekosistem pendukung tumbuh kembang anak secara menyeluruh.