
Paperkaltim.id, Samarinda â Kalimantan Timur dihadapkan pada sebuah persimpangan penting dalam sejarah ekonominya. Seiring dengan komitmen global untuk menurunkan emisi karbon, permintaan terhadap batu bara diperkirakan akan merosot hingga 20 persen pada 2030 dan menyusut tajam sebesar 70 persen pada 2050. Situasi ini mendorong provinsi kaya tambang seperti Kaltim untuk mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sektor pertambangan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonominya.
Fakta penurunan kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim pun menguatkan urgensi tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, pada 2023 sektor pertambangan dan penggalian menyumbang 43,19 persen dari total PDRB, namun turun menjadi 38,38 persen pada 2024.
Melihat arah perubahan ini, perhatian kini tertuju pada potensi besar Kalimantan Timur: generasi mudanya. Dengan lebih dari dua juta penduduk berusia di bawah 30 tahun, Kaltim menyimpan kekuatan luar biasa untuk membentuk ekonomi masa depan yang lebih ramah lingkungan. Isu green jobs atau pekerjaan hijau pun mengemuka sebagai solusi strategis.
Hal ini menjadi pokok pembahasan dalam Kuliah Tamu bertema transisi energi dan masa depan pekerjaan, yang digelar oleh Yayasan Mitra Hijau bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), Selasa (3/6/2025).
Ketua Prodi Teknik Geologi UMKT, Fajar Alam, menyoroti sejarah panjang pertambangan di Kaltim. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak kembali mengalami kebingungan ekonomi saat industri tambang mulai surut, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
âKita masih seperti zaman purba. Gali, kumpulkan, jual. Tapi kita harus mulai bertransformasi,â kata Fajar.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto, menambahkan bahwa dunia kerja masa depan membutuhkan generasi muda yang tidak hanya menguasai isu lingkungan, tapi juga memiliki kemampuan teknis seperti bahasa pemrograman, komunikasi global, pemahaman geopolitik, serta komitmen terhadap keberlanjutan.
âPekerjaan hijau bukan sekadar mencari penghasilan, tapi tentang dedikasi dan kecintaan terhadap bumi,â tegas Dicky, yang telah berkecimpung di sektor energi sejak tahun 1990-an.
Dicky menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan di sektor hijau mulai bermunculan dan bahkan industri tambang pun mulai mencari talenta yang memahami energi terbarukan.
Sementara itu, Fardila Astari, Communication Strategist dari Yayasan Mitra Hijau, menekankan pentingnya kehadiran anak muda di media sosial. Platform ini bisa menjadi cermin ketertarikan dan kredibilitas seseorang, terutama dalam dunia kerja yang kini semakin memperhatikan jejak digital.
âHRD sekarang pasti cek media sosial. Kalau kita konsisten dengan isu energi hijau, itu bisa jadi nilai lebih,â jelas Fardila.
Menurutnya, menjadi influencer atau campaigner dalam isu energi hijau kini menjadi jalur baru yang menjanjikan. Namun, hal ini menuntut keterampilan manajemen konten, pemahaman pasar, serta konsistensi dalam menyampaikan pesan-pesan lingkungan secara efektif.
Dengan demikian, Kalimantan Timur tak hanya bisa menjadi pionir dalam energi hijau, tetapi juga pusat tumbuhnya generasi yang siap memimpin perubahan.