
Paperkaltim.id, Jakarta â Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang populer dinamai Tom Lembong, kini menjadi sorotan publik yang luas setelah dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (18 Juli 2025) atas kasus korupsi impor gula. Hukuman ini mendorong lahirnya gerakan digital bernama âJustice for Tom Lembongâ yang menyuarakan keadilan hukum dan dugaan kriminalisasi politik terhadapnya.
Tom Lembong dituding mengeluarkan izin impor gula mentah sebanyak 105.000 ton kepada perusahaan swasta ketika Indonesia tengah surplus gula, sehingga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp578 miliar berdasarkan audit BPKP. Namun dalam putusan, hakim mencatat bahwa Lembong tidak memperkaya diri sendiri, sehingga masa hukuman dikurangi dari tuntutan tujuh tahun menjadi 4,5 tahun.
Sejumlah tokoh publik dan simpatisan politik membanjiri media sosial dengan tagar #FreeTomLembong. Dalam video sidang vonis, ratusan pendukung hadir di Pengadilan Tipikor menyanyikan yel-yel dukungan, sambil mengecam apa yang mereka sebut sebagai bentuk tekanan politik oleh rezim pemerintahan saat ini.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD juga mengkritik keras penangkapan dan pengadilan ekspektor bos ini, mempertanyakan mengapa hanya Lembong yang diproses sementara empat menteri perdagangan setelahnya tidak pernah disorot publik meskipun prosedur impor serupa pernah dilakukan.
Dalam persidangan praperadilan, Tom menegaskan bahwa ada ketidaksesuaian antara timeline dakwaan dan sprindik serta menolak disebut sebagai satu-satunya pelaku. Ia menuntut penjelasan mengapa hanya dirinya yang diadili atas praktik yang menurutnya umum saat ia menjabat.
Sekretaris Jampidsus Abdul Qohar menyatakan bahwa penyidik telah berkoordinasi dengan dengan otoritas Singapura dan Malaysia, meski pengadilan saat ini tidak memungkiri jika ada pertimbangan politik di balik kasus ini. Ia menegaskan bahwa penetapan sebagai tersangka didasarkan pada prosedur hukum yang berlaku, bukan pandangan politik tertentu.
Beberapa analis politik menyebut bahwa kasus ini menjadi barometer demokrasi Indonesia di bawah pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Jika Tom benar-benar diproses secara adil, bisa menjadi pertanda kejelasan independensi lembaga hukum. Sebaliknya, jika ketimpangan proses terlihat, maka dikhawatirkan ada kesan represif terhadap tokoh oposisi.
Simpatisan juga menyoroti penggunaan koporasi TNI dan Polri (Inkopkar, Inkoppol, Puskopol) yang disebut menjadi penerima izin impor gula, bukan BUMN. Dugaan kolusi antar pihak militer dan swasta turut menjadi sorotan publik dan menambah kontroversi pasal kerugian negara.
Kini, publik Indonesia menantikan apakah Lembong akan mengajukan banding, serta bagaimana Kejagung menindaklanjuti dinamika tekanan publik terhadap putusan sidang. Gerakan âJustice for Tom Lembongâ mencerminkan ketidakpuasan segmen masyarakat akan proses hukum yang dirasa kurang transparan dan berat sebelah.